Aku
yakin setiap niatku untuk pergi Workcamp, Allah yang sedang menggerakan hati
aku.
Dalam
rangka memperingati World Leprosy Day
2017 yang jatuh pada tanggal 26 Januari 2017 (hari minggu terakhir di bulan Januari), aku mau membuat posting-an khusus dengan tema kusta.
Isu
kusta memang sudah tidak begitu marak dibicarakan lagi belakangan ini, karena
Indonesia sudah berhasil mengurangi wabahnya. Meskipun begitu, karena Indonesia
luas. Informasi tentang kusta tidak benar-benar diperoleh oleh seluruh kalangan
masyarakat. Oke, kalau ngomongin
tentang masyarakat milenial di ibukota dan sekitarnya pasti mereka sudah cukup
paham tentang kusta, lalu bagaimana di daerah lain? Orang yang sakit kusta
masih cukup banyak yang terlantar dan belum terlalu diperhatikan lho ternyata, sebut saja kasus di salah
satu perkampungan Aceh Gayo. Masih banyak masyarakat yang mengira kalau sakit
kusta itu merupakan penyakit kutukan. So,
di sana ada satu kawasan yang istilah kasarnya tempat pembuangan orang yang
sakit kusta. Mereka yang dianggap telah melanggar hukum adat, diasingkan pada
suatu kawasan khusus yang jauh dari pemukiman penduduk. Banyak diantara mereka
yang hanya mendapatkan fasilitas kesehatan seadanya dari tenaga kesehatan
keliling. Sejauh ini, informasi yang aku tahu memang belum ada RS Khusus Kusta
di daerah tersebut.
Saat
ini Indonesia masih belum sepenuhnya berhasil mengendalikan penyakit neglected diseases, salah satu
diantaranya adalah kusta (Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia Tahun 2015-2019, 2015). Kusta sebenarnya dapat dicegah dan
disembuhkan tanpa cacat bila ditemukan sedini mungkin, terlebih lagi obatnya,
yaitu MDT dapat diakses gratis di Puskesmas (Dinkes Ciamis, 2014). Namun,
Menkes (2015) menyatakan bahwa masalah kusta di Indonesia masih sarat dengan
stigma, sehingga masih menyulitkan dalam pencarian kasus kusta dan tatalaksana
yang tepat.
Kusta
diklasifikasikan menjadi 2 tipe, kusta kering (PB) dan kusta basah (MB). Bahasa
ilmiahnya aku lupa. Tipe kusta basah dikatakan tipe kusta yang paling parah,
karena gejala umumnya kurang tegas dan lebih cepat menular dibandingkan kusta
kering. Begitu pula pengobatannya, tipe basah jauh memakan waktu yang lebih
lama. Tipe kusta ini yang paling sering membuat penderitanya mudah minder dan
kehilangan kepercayaan dirinya, serta dapat pula mengganggu mentalnya.
|
Anggota tubuh yang dapat dioperasi |
|
Perawatan luka pasien kusta |
***
Awalnya
aku merupakan satu diantaranya banyak orang yang kurang paham tentang kusta. Di
akhir tahun 2013 aku mengalami jatuh, bangun, sedih, kecewa dalam waktu
bersamaan. Pada saat itu aku mulai mencoba mengalihkan hidup aku ke hal-hal
yang lebih bermanfaat. Hal-hal yang bisa membuat aku setidaknya jauh merasa
lebih berharga dari pada saat itu. Singkatnya, aku terpilih menjadi salah satu
relawan di kegiatan Work Camp yang
diadakan oleh Leprosy Care Community
(LCC) / Komunitas Peduli Kusta Indonesia. Sebelumnya aku sempat enggak lolos seleksi Pengajar di
kegiatan UI Mengajar tahap Focus Group
Discussion-nya, tapi membuat aku bersyukur bisa dikasih kesempatan ikut Work Camp waktu itu. Aku bertemu dengan teman-teman
seangkatan dan kakak-kakak yang lebih dulu mengenyam bangku kuliah. Kala itu
merupakan pengalaman pertama aku terjun di dunia sosial masyarakat di luar kota
Depok. Teman-teman baru dan para warga membuat aku seperti me-recharge hidup yang sebelumnya kurang mecin (MSG/Monosodium Glutamat). Di sana
aku menemukan keluarga dan tentunya banyak pelajaran baru.
Aku
sudah 4 kali mengikuti Work Camp yang
diadakan oleh LCC di Desa Banyumanis, Jawa Tengah dan Desa Nganget, Jawa Timur.
Setiap Work Camp selalu memiliki
warnanya sendiri, di mana setiap detiknya merupakan pelajaran bagi hidupku. Suasana
lingkungan dan warganya selalu bikin kangen. Actually sekarang pun aku jadi kangen mau ke sana. Aku yakin
setiap niatku untuk pergi Work Camp,
Allah yang sedang menggerakan hati aku. Ngapain
juga kan ngabisin waktu libur 2 mingguan di daerah yang penduduknya pernah
sakit kulit yang nular?
Ternyata
aku punya tulisan waktu Work Camp di
Banyumanis tahun 2015 yang didukung dengan foto-foto yang artsy. Mungkin bisa jadi jawaban, kenapa aku suka rindu sama
suasana Work Camp. These
pictures mean a lot, they can discribe million words. Beda Nganget, beda
Banyumanis. Kalau ini tentang Banyumanis.
***
Desa
Banyumanis, Donorojo, Jepara, Jawa Tengah, terletak di belakang bukit dan di
pinggiran Pantai Keling. Jauh banget dari pusat kota Jepara. Bahkan orang
Semarang enggak tahu ada tempat macam itu. Kalau mau ke pasar harus naik motor ±5-6
km dan di sini masih belum ada kendaraan umum.
Kalau mau ke sini sih paling aku minta tolong warga sana buat jemput di gerbang
depan. Karena dari gerbang depan (pertigaan yang ada kendaraan umumnya) sampai
Banyumanis, masih jauh. Capek banget
kali ya kalau jalan kaki, naik-turun lewati lembah.
|
Banyumanisku |
Desa
Banyumanis memiliki 3 area utama, yaitu Rumah Sakit Kusta Donorojo dan
perumahan pegawai yang terdapat di depan Rumah Sakit, desa rehabilitasi yang
dikelola Rumah Sakit Kusta Donorojo, dan area
Liposos (Lingkungan Pondok Sosial) yang dikelola oleh Dinas Sosial.
|
RS Khusus Kusta Donorojo |
|
Bersama dr. Kunto (Direktur Rumah Sakit) |
|
Pelangi di matamu, eh salah, pelangi di Liposos |
Belakangan
aku tau ada kerjasama antara pihak RS Khusus Kusta Donorojo dengan pemerintah
setempat untuk memajukan kawasan ini menjadi kawasan pariwisata. Biar banyak
orang yang berkunjung dan enggak takut sama kusta. Basecamp tempat aku menginap di Banyumanis ini konsepnya villa, sudah direnovasi jadi bagus
banget, tapi tetep banyak banget Tomcat-nya,
enggak tahu kalau sekarang. Letaknya di Guamanik namanya. Waktu 2014 ke sana
juga udah berkonsep villa sih, dan
2015 ke sana lagi jadi makin bagus. Villa-nya
bahkan enggak cuma satu, ada tambahan 2 lagi. Termantap.
|
Tujuan dibangun Guamanik Pecatu Park |
|
Di depan basecamp |
|
Guamanik Pecatu Park |
Aku
ada cerita kocak nih. Jadi, mayoritas pegawai Rumah Sakit Kusta di sana beragama
non-muslim, di sepanjang rumah ada anjingnya. Pertama kali aku ke sana tahun
2014, aku dan teman-teman relawan habis berkunjung ke rumah pegawai, tetapi
letaknya berbeda dengan perumahan pegawai yang sederetan punya anjing itu.
Singkat cerita, sehabis maghrib kami pulang menuju basecamp dan lewat perumahan pegawai yang sederetan punya anjing.
Tiba-tiba banyak anjing yang mengepung kami sambil menggong-gong. Coba bayangin. Depan-belakan-kanan-kiri, coy. Mereka
ngapain coba? Aku macam penjahat
kelas kakap aja. Masalahnya waktu itu ceritanya enggak se-nyantai ini, karena setiap kali kaki kami melangkah, mereka juga
selangkah mendekati kami sambil menggong-gong.
Kami cuma bisa pasrah berpelukan rasa Teletabis karena ketakutan. Untungnya ada
ibu-ibu yang membantu kami, hidup aku enggak berakhir di situ, alhamdulillah.
|
Pulau Mandalika dan Pantai Keling yang alhamdulillah biru airnya |
Dari
basecamp kita bisa lihat pemandangan
Pantai Keling, yang keseringan airnya butek karena muara air kali yang sudah
bercampur tanah. Waktu tahun 2015 aku mendapatkan momen langka, karena bisa
lihat air pantai Keling warnanya biru. Kita juga bisa lihat Pulau Mandalika
dari basecamp. Katanya Pulau
Mandalika berpasir putih, ada beberapa teman satu komunitas yang beruntung bisa
ke Pulau Mandalika. Menurut penuturan warga, enggak ada warga yang bermukim di
sana, namun terdapat mercusuar yang dijaga oleh 3 orang karyawan. Perahu dari
pinggir pantai Keling bisa mengantarkan warga atau wisatawan yang ingin pergi
ke Pulau tersebut dengan harga kisaran Rp 5.000 – Rp 10.000, sayangnya dua kali
ke sana, dua kali pula aku cuma bisa mimpi pergi ke pulau itu.
|
Pantai Keling |
|
Patrick Star |
Di
dekat Pantai Keling juga terdapat Benteng Portugis, namun aku tidak pernah
mampir ke sana. Aku hanya sempat foto-foto di pinggir Pantai dekat Benteng
Portugis dan Gerbang Benteng Portugis.
|
Gerbang benteng Portugis |
Guamanik
daerah tempat basecamp sebenarnya
punya cerita mistis. Konon Guamanik merupakan sebuah Goa yang dijaga oleh
arwah-arwah raja zaman dahulu. Hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat
goa tersebut. Ada beberapa cerita misteri sekaligus mengerikan di daerah basecamp. Untung ceritanya baru
diceritain saat perjalanan pulang.
|
Katanya di sini ada goa |
Lain
cerita dengan warga Sitanala, orang-orang yang pernah mengalami kusta di sini jarang
bertemu dengan keluarganya. Bahkan ada beberapa warga yang sudah tidak pernah
sama sekali bertemu dengan satu pun sanak keluarga. Jangankan orang yang pernah
mengalami, orang yang sedang mengalaminya pun juga begitu. Mereka diasingkan
dari keluarga dan lingkungan sekitar. Tidak jarang diantara mereka mendapat
cemoohan dan perilaku yang kurang nyaman. Di samping itu orang-orang yang
pernah mengalami kusta dengan disabilitas terkadang merasa minder dengan
masyarakat. Sehingga mereka jarang berkomunikasi dengan masyarakat. Pertama
kali komunitas LCC ke sini, banyak warga yang mendadak mengunci pintu rumahnya
karena minder dengan orang sehat.
|
Aku dan Arum (anak warga desa Banyumanis) |
|
Aku, Bu Saodah, Clara, Pak Mustofa, kak Gina, kak Naini |
|
Kak Yudi, Clara, Pak Kemat, Kak Naini, Aku |
|
Kak Riki, Kak Yuli, dan Kak Yudi bersama pak Slamet yang jado adzan |
|
Bersama Mbah Karti |
|
Pasien kusta di RSK Kusta Donorojo |
|
Kamar pak Suwarno, salah satu pasien inventaris RSK Kusta Donorojo |
|
Temanku Ratih dan Mak mau pesta makan kelapa muda |
|
Anak-anak Desa Banyumanis sedang bernyayi lagu, "Li..li..lihat kecoa, bergerak-gerak. Gelii" |
|
Education Program |
Mayoritas
orang-orang yang pernah mengalami kusta pada akhirnya lebih memilih tinggal di
daerah koloni orang yang pernah mengalami kusta. Selain diberikan skill untuk bisa berwirausaha, tanah untuk
dikelola sendiri, hewan ternak, serta beras, mereka juga hidup bermasyarakat dengan
warga lain yang senasib. Dengan kata lain, mereka tidak perlu merasa minder, toh, semua warga sama-sama juga pernah
mengalami kusta. Pemikiran yang seperti itu yang membuat warga desa Donorojo
merasa lebih nyaman tinggal di sana ketimbang kembali ke sanak keluarganya.
|
Sangkar burung buatan warga |
|
Tas daur ulang buatan warga |
|
Kayu ukir buatan warga |
Waktu
tahun 2015, volunteer diajak pergi ke
RS Kusta Dr. Rehatta Kelet, Jepara, Jawa Tengah dalam rangka peringatan World Leprosy Day, dan diajak nge-camp di sana. Tadinya mau pakai tenda,
tapi karena hujan akhirnya kami tidur di penginapan. Perayaan Hari Kusta
Sedunia yang ke-63 waktu itu cukup meriah. For
the first time lihat rumah sakit dengan konsep wisata dilengkapi dengan penginapan,
tempat wisata, outbound, dll.
Beberapa kali pasien kusta di RS Kusta Donorojo dipindahkan di RS ini.
|
Suasana Kampoeng Rehatta, di RSK Kusta Dr. Rehatta Kelet |
|
Tenda-tenda lucu |
|
Volunteer dapat kelas yoga gratis nih. Namaste |
|
Spanduk di depan RSK Kusta Dr. Rehatta |
|
Suasana perayaan Hari Kusta Sedunia tahun 2015 |
|
Menari Sirih Kuning saat Farewell Party (perpisahan) dengan warga. Aku pakai kain ungu |
Aku
selalu buat cacatan perjalanan sehabis Work
Camp, bisa lihat di link-link
berikut jika ada yang tertarik:
NIWC2015 (Nganget) (jangan
komentar grammar)
|
Cover handbook (semacam diary) relawan yang ada foto akunya. Big thanks for designer |
|
Volunteer JWC 2015 periode bulan Januari |
Kegiatan
Work Camp selalu berhasil bikin rindu,
ya.
No comments:
Post a Comment