Friday, January 27

World Leprosy Day 2017

Aku yakin setiap niatku untuk pergi Workcamp, Allah yang sedang menggerakan hati aku.

Dalam rangka memperingati World Leprosy Day 2017 yang jatuh pada tanggal 26 Januari 2017 (hari minggu terakhir di bulan Januari), aku mau membuat posting-an khusus dengan tema kusta. 

Isu kusta memang sudah tidak begitu marak dibicarakan lagi belakangan ini, karena Indonesia sudah berhasil mengurangi wabahnya. Meskipun begitu, karena Indonesia luas. Informasi tentang kusta tidak benar-benar diperoleh oleh seluruh kalangan masyarakat. Oke, kalau ngomongin tentang masyarakat milenial di ibukota dan sekitarnya pasti mereka sudah cukup paham tentang kusta, lalu bagaimana di daerah lain? Orang yang sakit kusta masih cukup banyak yang terlantar dan belum terlalu diperhatikan lho ternyata, sebut saja kasus di salah satu perkampungan Aceh Gayo. Masih banyak masyarakat yang mengira kalau sakit kusta itu merupakan penyakit kutukan. So, di sana ada satu kawasan yang istilah kasarnya tempat pembuangan orang yang sakit kusta. Mereka yang dianggap telah melanggar hukum adat, diasingkan pada suatu kawasan khusus yang jauh dari pemukiman penduduk. Banyak diantara mereka yang hanya mendapatkan fasilitas kesehatan seadanya dari tenaga kesehatan keliling. Sejauh ini, informasi yang aku tahu memang belum ada RS Khusus Kusta di daerah tersebut.

Saat ini Indonesia masih belum sepenuhnya berhasil mengendalikan penyakit neglected diseases, salah satu diantaranya adalah kusta (Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2015-2019, 2015). Kusta sebenarnya dapat dicegah dan disembuhkan tanpa cacat bila ditemukan sedini mungkin, terlebih lagi obatnya, yaitu MDT dapat diakses gratis di Puskesmas (Dinkes Ciamis, 2014). Namun, Menkes (2015) menyatakan bahwa masalah kusta di Indonesia masih sarat dengan stigma, sehingga masih menyulitkan dalam pencarian kasus kusta dan tatalaksana yang tepat.
 
Kusta diklasifikasikan menjadi 2 tipe, kusta kering (PB) dan kusta basah (MB). Bahasa ilmiahnya aku lupa. Tipe kusta basah dikatakan tipe kusta yang paling parah, karena gejala umumnya kurang tegas dan lebih cepat menular dibandingkan kusta kering. Begitu pula pengobatannya, tipe basah jauh memakan waktu yang lebih lama. Tipe kusta ini yang paling sering membuat penderitanya mudah minder dan kehilangan kepercayaan dirinya, serta dapat pula mengganggu mentalnya.
Anggota tubuh yang dapat dioperasi
Perawatan luka pasien kusta
***
Awalnya aku merupakan satu diantaranya banyak orang yang kurang paham tentang kusta. Di akhir tahun 2013 aku mengalami jatuh, bangun, sedih, kecewa dalam waktu bersamaan. Pada saat itu aku mulai mencoba mengalihkan hidup aku ke hal-hal yang lebih bermanfaat. Hal-hal yang bisa membuat aku setidaknya jauh merasa lebih berharga dari pada saat itu. Singkatnya, aku terpilih menjadi salah satu relawan di kegiatan Work Camp yang diadakan oleh Leprosy Care Community (LCC) / Komunitas Peduli Kusta Indonesia. Sebelumnya aku sempat enggak lolos seleksi Pengajar di kegiatan UI Mengajar tahap Focus Group Discussion-nya, tapi membuat aku bersyukur bisa dikasih kesempatan ikut Work Camp waktu itu. Aku bertemu dengan teman-teman seangkatan dan kakak-kakak yang lebih dulu mengenyam bangku kuliah. Kala itu merupakan pengalaman pertama aku terjun di dunia sosial masyarakat di luar kota Depok. Teman-teman baru dan para warga membuat aku seperti me-recharge hidup yang sebelumnya kurang mecin (MSG/Monosodium Glutamat). Di sana aku menemukan keluarga dan tentunya banyak pelajaran baru.

Aku sudah 4 kali mengikuti Work Camp yang diadakan oleh LCC di Desa Banyumanis, Jawa Tengah dan Desa Nganget, Jawa Timur. Setiap Work Camp selalu memiliki warnanya sendiri, di mana setiap detiknya merupakan pelajaran bagi hidupku. Suasana lingkungan dan warganya selalu bikin kangen. Actually sekarang pun aku jadi kangen mau ke sana. Aku yakin setiap niatku untuk pergi Work Camp, Allah yang sedang menggerakan hati aku. Ngapain juga kan ngabisin waktu libur 2 mingguan di daerah yang penduduknya pernah sakit kulit yang nular?

Ternyata aku punya tulisan waktu Work Camp di Banyumanis tahun 2015 yang didukung dengan foto-foto yang artsy. Mungkin bisa jadi jawaban, kenapa aku suka rindu sama suasana Work Camp. These pictures mean a lot, they can discribe million words. Beda Nganget, beda Banyumanis. Kalau ini tentang Banyumanis.
***
Desa Banyumanis, Donorojo, Jepara, Jawa Tengah, terletak di belakang bukit dan di pinggiran Pantai Keling. Jauh banget dari pusat kota Jepara. Bahkan orang Semarang enggak tahu ada tempat macam itu. Kalau mau ke pasar harus naik motor ±5-6 km dan di sini masih belum ada kendaraan umum. Kalau mau ke sini sih paling aku minta tolong warga sana buat jemput di gerbang depan. Karena dari gerbang depan (pertigaan yang ada kendaraan umumnya) sampai Banyumanis, masih jauh. Capek banget kali ya kalau jalan kaki, naik-turun lewati lembah.
Banyumanisku
Desa Banyumanis memiliki 3 area utama, yaitu Rumah Sakit Kusta Donorojo dan perumahan pegawai yang terdapat di depan Rumah Sakit, desa rehabilitasi yang dikelola Rumah Sakit Kusta Donorojo, dan area  Liposos (Lingkungan Pondok Sosial) yang dikelola oleh Dinas Sosial.

RS Khusus Kusta Donorojo
Bersama dr. Kunto (Direktur Rumah Sakit)
Pelangi di matamu, eh salah, pelangi di Liposos
Belakangan aku tau ada kerjasama antara pihak RS Khusus Kusta Donorojo dengan pemerintah setempat untuk memajukan kawasan ini menjadi kawasan pariwisata. Biar banyak orang yang berkunjung dan enggak takut sama kusta. Basecamp tempat aku menginap di Banyumanis ini konsepnya villa, sudah direnovasi jadi bagus banget, tapi tetep banyak banget Tomcat-nya, enggak tahu kalau sekarang. Letaknya di Guamanik namanya. Waktu 2014 ke sana juga udah berkonsep villa sih, dan 2015 ke sana lagi jadi makin bagus. Villa-nya bahkan enggak cuma satu, ada tambahan 2 lagi. Termantap.
Tujuan dibangun Guamanik Pecatu Park
Di depan basecamp
Guamanik Pecatu Park
Aku ada cerita kocak nih. Jadi, mayoritas pegawai Rumah Sakit Kusta di sana beragama non-muslim, di sepanjang rumah ada anjingnya. Pertama kali aku ke sana tahun 2014, aku dan teman-teman relawan habis berkunjung ke rumah pegawai, tetapi letaknya berbeda dengan perumahan pegawai yang sederetan punya anjing itu. Singkat cerita, sehabis maghrib kami pulang menuju basecamp dan lewat perumahan pegawai yang sederetan punya anjing. Tiba-tiba banyak anjing yang mengepung kami sambil menggong-gong. Coba bayangin. Depan-belakan-kanan-kiri, coy. Mereka ngapain coba? Aku macam penjahat kelas kakap aja. Masalahnya waktu itu ceritanya enggak se-nyantai ini, karena setiap kali kaki kami melangkah, mereka juga selangkah mendekati kami sambil menggong-gong. Kami cuma bisa pasrah berpelukan rasa Teletabis karena ketakutan. Untungnya ada ibu-ibu yang membantu kami, hidup aku enggak berakhir di situ, alhamdulillah.
 
Pulau Mandalika dan Pantai Keling yang alhamdulillah biru airnya
Dari basecamp kita bisa lihat pemandangan Pantai Keling, yang keseringan airnya butek karena muara air kali yang sudah bercampur tanah. Waktu tahun 2015 aku mendapatkan momen langka, karena bisa lihat air pantai Keling warnanya biru. Kita juga bisa lihat Pulau Mandalika dari basecamp. Katanya Pulau Mandalika berpasir putih, ada beberapa teman satu komunitas yang beruntung bisa ke Pulau Mandalika. Menurut penuturan warga, enggak ada warga yang bermukim di sana, namun terdapat mercusuar yang dijaga oleh 3 orang karyawan. Perahu dari pinggir pantai Keling bisa mengantarkan warga atau wisatawan yang ingin pergi ke Pulau tersebut dengan harga kisaran Rp 5.000 – Rp 10.000, sayangnya dua kali ke sana, dua kali pula aku cuma bisa mimpi pergi ke pulau itu.
 
Pantai Keling
Patrick Star
Di dekat Pantai Keling juga terdapat Benteng Portugis, namun aku tidak pernah mampir ke sana. Aku hanya sempat foto-foto di pinggir Pantai dekat Benteng Portugis dan Gerbang Benteng Portugis.
 
Gerbang benteng Portugis
Guamanik daerah tempat basecamp sebenarnya punya cerita mistis. Konon Guamanik merupakan sebuah Goa yang dijaga oleh arwah-arwah raja zaman dahulu. Hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat goa tersebut. Ada beberapa cerita misteri sekaligus mengerikan di daerah basecamp. Untung ceritanya baru diceritain saat perjalanan pulang.
 
Katanya di sini ada goa
Lain cerita dengan warga Sitanala, orang-orang yang pernah mengalami kusta di sini jarang bertemu dengan keluarganya. Bahkan ada beberapa warga yang sudah tidak pernah sama sekali bertemu dengan satu pun sanak keluarga. Jangankan orang yang pernah mengalami, orang yang sedang mengalaminya pun juga begitu. Mereka diasingkan dari keluarga dan lingkungan sekitar. Tidak jarang diantara mereka mendapat cemoohan dan perilaku yang kurang nyaman. Di samping itu orang-orang yang pernah mengalami kusta dengan disabilitas terkadang merasa minder dengan masyarakat. Sehingga mereka jarang berkomunikasi dengan masyarakat. Pertama kali komunitas LCC ke sini, banyak warga yang mendadak mengunci pintu rumahnya karena minder dengan orang sehat.
 
Aku dan Arum (anak warga desa Banyumanis)
Aku, Bu Saodah, Clara, Pak Mustofa, kak Gina, kak Naini
Kak Yudi, Clara, Pak Kemat, Kak Naini, Aku
Kak Riki, Kak Yuli, dan Kak Yudi bersama pak Slamet yang jado adzan
Bersama Mbah Karti
Pasien kusta di RSK Kusta Donorojo
Kamar pak Suwarno, salah satu pasien inventaris RSK Kusta Donorojo
Temanku Ratih dan Mak mau pesta makan kelapa muda
Anak-anak Desa Banyumanis sedang bernyayi lagu, "Li..li..lihat kecoa, bergerak-gerak. Gelii"
Education Program
Mayoritas orang-orang yang pernah mengalami kusta pada akhirnya lebih memilih tinggal di daerah koloni orang yang pernah mengalami kusta. Selain diberikan skill untuk bisa berwirausaha, tanah untuk dikelola sendiri, hewan ternak, serta beras, mereka juga hidup bermasyarakat dengan warga lain yang senasib. Dengan kata lain, mereka tidak perlu merasa minder, toh, semua warga sama-sama juga pernah mengalami kusta. Pemikiran yang seperti itu yang membuat warga desa Donorojo merasa lebih nyaman tinggal di sana ketimbang kembali ke sanak keluarganya.

Sangkar burung buatan warga
Tas daur ulang buatan warga
Kayu ukir buatan warga
Waktu tahun 2015, volunteer diajak pergi ke RS Kusta Dr. Rehatta Kelet, Jepara, Jawa Tengah dalam rangka peringatan World Leprosy Day, dan diajak nge-camp di sana. Tadinya mau pakai tenda, tapi karena hujan akhirnya kami tidur di penginapan. Perayaan Hari Kusta Sedunia yang ke-63 waktu itu cukup meriah. For the first time lihat rumah sakit dengan konsep wisata dilengkapi dengan penginapan, tempat wisata, outbound, dll. Beberapa kali pasien kusta di RS Kusta Donorojo dipindahkan di RS ini.

Suasana Kampoeng Rehatta, di RSK Kusta Dr. Rehatta Kelet
Tenda-tenda lucu
Volunteer dapat kelas yoga gratis nih. Namaste
Spanduk di depan RSK Kusta Dr. Rehatta
Suasana perayaan Hari Kusta Sedunia tahun 2015
Menari Sirih Kuning saat Farewell Party (perpisahan) dengan warga. Aku pakai kain ungu
Aku selalu buat cacatan perjalanan sehabis Work Camp, bisa lihat di link-link berikut jika ada yang tertarik:

NIWC2014 (Nganget) (jangan komentar grammar)
NIWC2015 (Nganget) (jangan komentar grammar)
Cover handbook (semacam diary) relawan yang ada foto akunya. Big thanks for designer
Volunteer JWC 2015 periode bulan Januari



Kegiatan Work Camp selalu berhasil bikin rindu, ya. 

No comments:

Post a Comment

KAGET DIDIAGNOSIS POSITIF COVID-19! TERPAKSA ISOLASI DI KOTA ORANG (AKU SANGAT MANDIRI)

Hai, ini tulisan pertamaku di tahun 2021. Terlalu banyak yang terjadi di tahun 2020, setengah tahunnya kurang bersemangat buat aku ceritakan...

Mario Walking Mario Walking Heart Chat Bubble Mario Walking