Friday, March 16

Dua Puluh Hari Mencari Asa Untuk Papua Barat #3


Menjelajah Sebagian Surganya Indonesia 

Hal paling berharga dari sebuah pertemuan adalah kebersamaan. Semenyakit apapun perpisahan, kebersamaan akan tetap indah untuk dikenang
Rabu, 24 Januari 2018

Sepanjang hari itu langit Friwen seperti sengaja menjadi abu. Aku dengan beberapa teman yang masih stay di Friwen kembali menuju rumah besar. Kalau ada yang tanya kenapa aku masih stay, kira-kira begini percakapannya:

“Kenapa kok arum masih stay?”
“Karena aku mau liburan. Begitupun juga teman-teman lainnya yang masih stay”
“Kok udah ada yang pulang?”
“Karena program ini di luar dari program inti”

***
Di rumah besar beberapa diantara kami pelor, nempel langsung molor. Wendy dan Alim seingatku sudah lebih dulu pergi ke homestay untuk mencari sinyal internet. Kemudian disusul Fajar dan Reno setelah keduanya tidur sebentar. Sisanya aku, Yuni, Reri, Suki, Kiko, Radit, Sihar, Yunus, Ridwan, dan Bang Usep tetap tidur sampai siang. Cuaca di Friwen hari itu mendung, adem, lembab, dan kelabu. Ditambah dengan turunnya hujan rintik-rintik cantik. Membuatku mager tak terkira.

Setelah makan siang dan mandi (ngapain coba Arum mandi waktu itu), mbak Acha mengajak kami pergi mengambil galon di pulau seberang. AMBIL GALON DI SEBERANG PULO MEEEN! Nggak kebayang dan nggak mau ngebayangin juga sih kalau di Depok kayak gitu.

“Mak, mau beli galon”
“Yaudah sana kamu ke pulo seberang” (?) (?) (?)
Lalu nyiapin kapal dulu. Manasin mesin dulu. Terus geret-geret kapalnya ke pinggir laut. Yalord, riweuh-nyooo.

[Jadi ngabayangin kaaan, padahal tadi nggak mau ngebayangin]

***
Pulau seberang Friwen yang ku maksud adalah, Nene Bago. Entah nama pantainya atau nama pulaunya. Di mbah gugel ra ono rek. Pokoke di sana kami snorkeling. Gratis *evil laugh* ๐Ÿ‘น๐Ÿ‘น๐Ÿ‘น

Nene Bago memiliki ragam coral dan ikan yang geuliiiis pisaan, euy! Ini yang aku maksud baru di pinggir lautnya loooh, belum di bawah lautnya. Nggak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Memang setakjub itu.
 
Sayang ya ngeblur๐Ÿ˜ƒ (Dari kiri ke kanan: Suki, aku, Yuni, Wendy, Reno, Fajar, Kaka Insen, dan Alim)

“Masih nggak nyangka di Raja Ampat” ๐Ÿ˜‘
  
Kayaknya setiap datang ke pulau baru di Raja Ampat, aku selalu bilang gitu dalem hati.

Oiya, di depan Friwen ada salah satu spot diving. Beberapa laman travel yang aku baca, salah satu yang terbaik  dan juga salah satu tujuan turis asing yang mau menikmati keindahan bawah laut di Raja Ampat. Namanya Friwen wall, dibaca friwen wol.

***
Sore terakhir kami di Friwen, aku akhirnya puas liat lumba-lumba dan ikan terbang muncul dari jembatan Friwen, sekaligus melihat senja terkahir di Friwen.

Lalu malamnya setelah kami makan malam dan mandi akhirnya Rijal Indonesia (si warlok-able nya Friwen) bangun dari tidur panjangnya. Aku bahkan baru sadar kalau dia ikut extend. Rijal tepar seharian penuh, setelah goyang enak dan kasih slow-an semaleman suntuk.

Senja terakhirku di Friwen. Kapal-kapal yang aku tunjuk itu kapal Amerika
Malam itu kami duduk rapih berjejer di bangku dekat jembatan Friwen, sambil berbincang santai dan menghabiskan malam-malam terakhir di Friwen.

Kamis, 25 Januari 2018

Agaknya di tanggal ini holiday time banget deh.
Pagi hari setelah mandi (ngapain sih Arum mandi mulu, heran sama diri sendiri), kami menunggu teman-teman extend tim 1 dan tim 2 yang mau mampir ke Friwen DENGAN KESOMBONGAN. Khususnya delegasi tim 2 yang lokasi dusun Warengkris-nya di tengah hutan, hehe. CIEEE LIAT PANTAI CIEEE ๐Ÿ˜‚

Sambil menunggu kedua tim itu merasakan keindahan pantai Friwen. Aku main pasir bareng Nur, Alex, sama duanya lagi teh saha namina lupaaaa abdi (mau nulis aing tapi kata orang Sunda asli kasar banget) wk.


Definisi rindu yang hakiki

***

“WELCOME TO PIAYNEMO”

ALHAMDULILLAAAAAH, setelah perjalanan dari Friwen dengan ombak bergejolak yang cukup tinggi, serta angin yang kencang sampai atap speedboat roboh, sampailah kami di Piaynemo. YEEEY... Horeeee!

Wagelasih.
Kayak mimpi di siang bolong. Emang masih siang waktu itu. Tapi nggak bolong. Ahelah bodo amat rum.

Welcome to PIAYNEMO, YIAY!
Segelintir anggota tim sombong yang mendarah daging
Presiden Indonesia yang pertama kali mengunjungi Piaynemo yaitu bapak Jokowi. Beliau belum lama ini  mampir juga. Viral banget kan foto beliau cari kecebong di Piaynemo, HEHE. Cuma aku agak kesel lihat banyak bendera partai yang di pasang di sana. Partai Demokrat yang mendominasi. Ganggu gitu loh. Kan lagi menikmati indahnya pemandangan, tapi nggak banyak l0nth* nya~

Destinasi selanjutnya adalah PULAU ARBOREK. Aku dan rombongan sekapal melanjutkan perjalanan menuju pulau Arborek. Kalau kata Diana, kapal sama speedboat beda definisi ya khawan-khawan. Kapal itu kapal yang kayak kapal layar gitu, kalau speedboat tuh yang agak keren dikit dan jalannya lebih kenceng. Selama muterin Raja Ampat kami menaiki speedboat, kalau yang waktu dari Waisai ke Friwen itu kapal tapi pakai mesin, adalagi kapal yang pakai dayung sampan, banyak deh. Jadi bilangnya speedboat ya, bukan kapal. (iya-in aja tulisan Arum gausah netizen)

Arborek merupakan salah satu desa wisata di Raja Ampat yang sudah dikelola sangat baik, ada plang sponsor besar DIKELOLA OLEH BANG BE-EN-I. Berbeda dengan Friwen, Arborek desanya sudah terkelola dengan sangat baik menurutku. Banyak homestay yang bertebaran dan rumah warganya rapih.

Welcome to Arborek
Suasana pulau, rapih di cat biru-biru gitu
Aku tidak sempat snorkeling di sini. Soalnya bayar alatnya. Jadi cukup menikmati keindahan pulaunya. Kata temenku masih lebih bagus Nene Bago, tapi ada yang bilang bagus ikannya banyak banget. Personal taste sih.

Suka merasa gagal jadi cewek

Oiya, aku juga sempat dikirimin foto telaga bintang sama Wendy. Waktu itu cuma speedboat yang ada mbak Achanya aja yang ke telaga bintang. Bagus juga pemandangannya๐Ÿ‘

Telaga bintang
***
Cuaca di Friwen 2 hari itu kurang bersahabat banget. Dua kali jemur baju nggak kering-kering, sampai malam harinya setelah jalan-jalan ternyata baju kami sudah diangkat sama Elin. Terharu banget ya Allah. Ah, seandainya temen-temen delegasi yang udah pulang duluan juga merasakan sepinya Friwen setelah mereka pulang waktu itu ๐Ÿ˜Ÿ

Meninggalkan Friwen.

Aku nggak nyangka bakal ninggalin Friwen malem. Waktu itu yang aku pikirin cuma satu. “Kapan balik lagi ke sini?”

Jumat, 26 Januari 2018

Selama beberapa hari berikutnya di Raja Ampat, aku dan teman-teman lainnya singgah di villanya mas Sandhi (CEO Youcan). Karena kami rame-an banget ya, jadi penuuuh bingits (rasanya). Tapi nikmat-nikmat aja, aku anaknya nggak suka mendustakan nikmat Tuhan. Nikmat karena bareng teman-teman, makannya pun nasi bungkus yang lauknya sederhana tapi enak, bahkan kebanyakan makannya ikan mulu.

Destinasi selanjutnya adalahhhh Saporkren Bitch. Eh salah. Saporkren Beach. Di Saprokren bisa liat burung cendrawasih, tapi harus bayar dulu gitu sih kalau mau liat, nanti diarahin sama warganya. Tapi aku nggak kepengen liat, jadi aku nggak bayar. Haha ya Allah tulisan macam apa ini

Waktu di Friwen ada seorang bapak yang bilang, tarian burung cedrawasih itu ritmenya bikin sedih. Sebenarnya penasaran sih mau liat. Kalau gratis mungkin aku liat

Saporkren kata mbak Acha tempat INAVIS pertama dilaksanakan. Dari penginapan naik mobil kap terbuka, terus sempet mobil kapnya nggak bisa nanjak gitu [Haha. Horor]. Di sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan hutan Waisai dan jalanan yang super sepi.

Saporkren dikelilingi hutan. AND yu suld nouu dat, AKU LIAT BABIIIK! Babik babik nyebrang di depan mata. Kaget nggak sih? Ternyata ada warga yang nyimpen babik di rumahnya. Banyak babik yang lagi tidur waktu itu di bawah rumah, HAHAHA liat BABIIIIIK!!!! liat BABIIIIIK!!!! ๐Ÿท

Terus apalagi ya? Snorkeling, foto-foto. Udah gitu doang. Aku cuma liat karang-karang gitu kebanyakan, terus ada kayak sesuatu yang ngambang lurus-lurus. Bukan tahik bukan. Seneng aja bisa renang-renang, meskipun nothing special sih. Yang spesial itu moment-nya. Ciaaaa. Timpuk aku. Timpuuk.
Yang special itu martabak dikacangin, tapi kamu kalau ngacangin aku jadi nggak spesial(?) #apasih (diemin aja arumnya)

Di sana ada homestay lumayan nyaman menurutku. Karena pemandangannya baguuus.
Tampak depan
 
Tampak dalam
Yang lucu juga waktu itu tiba-tiba ketemu Gerson. Waktu kemarin malam saat kami meninggalkan Friwen, Gerson bilang gini.

“Kaka kaka kenapa pulang malam ini? Padahal kalau sehari di sini lagi, aku mau semalaman sama kaka nggak tidur meski besok sekolah”

dan yang lucu kalimat ini tiba-tiba keluar dari mulutnya

“Ah. Aku betee”

Terus dia tiduran di jembatan. Hiks ๐Ÿ˜ญ Lucu tapi sediih.

Nah waktu ketemu di Saporkren, Gerson sama ayahnya, Pak Kades, naik kapal. Kami panggil-panggil dia, dia cuma senyum-senyum tapi nggak mau nengok dan nggak mau mendekat ke kami. Bahkan waktu mau pulang pun dia juga nggak mau nengok meski kami sudah dadah-dadahin. Perpisahan memang berat.

Radit, Kiko, Fajar, Sihar, me (kayak anak ilang)
Wah emang masih kayak seumuran (?) ๐Ÿ˜

Oia. Jadi waktu di hari itu, sebenarnya dibagi jadi 2 kloter. Kloter satunya lagi ke Wayag. Wayag itu versi besarnya dari Piaynemo. Bagus banget katanya. Wayag itu letaknya di Misool. Misool emang keren banget, bawah lautnya apalagi (katanya loh. Arum tuh emang sotoy gitu anaknya). Kalau mau tahu cerita tentang Wayag baca cerita temenku yuk, Yuni namanya. Linknya: Yuni the explorer: Trip to Wayag

Sabtu, 27 Januari 2018

Beberapa teman yang naik pesawat, pagi itu pulang lebih dulu ke Sorong. Wendy juga pulang. Salah satu temenku yang cukup setia bareng-bareng waktu extend :)
Dia sengaja pulang lebih dulu karena mengejar kuliah hari senin katanya. Kaget waktu itu liat dia nangis pas mau pulang, terharu banget ya ๐Ÿ˜†

Setelah beberapa teman pulang, kami bersyukur bisa bebas mandi tanpa antre. Tapi rasanya kayak kopong. Sepi. Serba salah ya kayak Raisa. Keramean salah, kesepian juga salah.

Oia, karena Waisai itu ibukota Kabupatennya Raja Ampat, makanya Waisai daerahnya sudah cukup maju dan berkembang. Jalanan sudah beraspal, sudah ada jaringan internet kenceng, sudah ada mobil dan motor berseliweran, dan juga masjid besar. Di sana banyak warga pendatangnya, karena merupakan tempat transit kapal express dari Kota Sorong. Airnya juga bersih. Udah pakai jet-pam gitu, kenceeeng.

Rumah seberang villa mas Sandhi udah di-booking juga ternyata, atau entahlah, yang jelas beberapa teman ada yang tidur di sana sejak kemarin. Dan...katanya boleh nyuci baju pakai mesin cuci! Aku dan Yuni berniat untuk cuci baju waktu itu. Saat mau nyuci, udah gendong-gendong baju, eeh tiba-tiba kami diajak pergi ke pulau Saonek. Si mamah yang punya rumah justru menyuruh kami lekas pergi, katanya “biar saya saja yang nyuci, pergi sudah”. Nggak enak sebenernya. Tapi sudah ditunggu sama yang lain. Akhirnya kami tinggal. Hahaha. Emang kurangajar ya kita.

***

Kami sampai di pulau Saonek.
Jaraknya tidak terlalu jauh hanya beberapa menit dari Waisai. Wagelaseh. Takjub banget. Kali ini bukan sama pemandangannya. Tapi sama rumah-rumah penduduknya. Udah cukup maju, nggak jauh beda dengan Arborek, tetapi yang ini lebih keren.

Dikutip dari beritatagar.id, pulau ini merupakan pulau di mana kegiatan perdagangan dan keramaian pertama kali dilakukan di Raja Ampat. Sebelum Papua Barat berkembang seperti sekarang.

Pertama kali aku dan beberapa teman extend tim 3 sampai di pulau Saonek, kami langsung penasaran dan melakukan ‘pemetaan sosial’. Kami mengitari pulau Saonek. Di Saonek sepertinya banyak warga pendatang yang beragama muslim. Pasalnya di sana sudah berdiri masjid yang keren banget. Tidak jauh dari masjid, terdapat Puskesmas! OMG ini nih yang aku cari-cari dari kemarin. Lanjut dari Puskesmas, ada kuburan orang China gitu, lalu posyandu dan kantor Kepala Desa.
 
Hanya ingin menunjukkan kemegahan mesjid di Saonek. Abaikan 3 objek yang tidak berkepentingan
Puskesmas di Pulau Saonek tampak depan
Menurut koran online Republika, desa Saonek diresmikan sebagai Desa Sadar Jaminan Sosial di Raja Ampat. Sekitar bulan September tahun 2017, pulau ini resmi dinobatkan sebagai Desa Sadar Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang merepresentasikan wilayah timur Indonesia. Berdasarkan informasi yang aku dapat dari warga setempat, pak Kepala Desa di Saonek berhasil membawa pulau ini menjadi juara 3 nasional BPJS Ketenagakerjaan, dari 7.000 desa Indonesia!!!



Tidak jauh dari itu juga terdapat gereja. Pulau ini boleh dikatakan bersih banget banget (menurutku), jika dibandingkan dengan beberapa pulau lain yang telah aku kunjungi di Raja Ampat. Sehabis pemetaan sosial, beberapa teman mencoba untuk melihat keindahan bawah laut pulau Saonek, tapi sepertinya mereka salah spot deh ya. Karena katanya nggak ada apa-apanya gitu, padahal kalau aku lihat di internet terumbu karang pulau Saonek bagus. Raja Ampat mana sih yang nggak bagus?
 
Suasana rumah warga di Saonek. Sudah beraspal!
Warung di pulau Saonek yang ada muralnya
Karena aku kurang tertarik untuk ikut main air. Aku pamit mau ‘pemetaan sosial’ lagi, hehe. Nggak sih. Aku tiba-tiba pengen ngobrol dengan dokter setempat aja. Karena aku lihat ada puskesmas, jadi aku menyimpulkan di sana juga ada dokter. Aku awalnya muter-muter sekalian menikmati rumah penduduk dan hawa sore pulau Saonek. Foto-foto anak-anak yang sedang mandi-mandi. Kemudian aku bertanya ke salah seorang mamah yang sedang duduk di pinggir rumahnya.

“Mamah permisi. Aku lagi muter-muter pulau ini mamah. Aku mau tanya, di sini ada Puskesmas po? Apa ada dokter yang tinggal di sini?”

Mamahnya bingung kali ya, ini siapa sih bocah.
 
“Dokter? Ooo ada” (Dijawab ramah banget!)
“Iya. Di mana mamah rumahnya kalau boleh tahu?”
“Di depan kantor Kepala Desa itu di sana”
“Dekat Posyandu itu to?”
*si mamah agak mikir dulu* “Oo iya betuul”
“Terima kasih mamah”

Aku kemudian berjalan menuju rumah si dokter. Awalnya agak ragu, tapi aku sedikit masa bodo gitu, karena aku penasaran.

Akhirnya aku berhasil menemukan rumah si dokter. Sempat ada rasa nggak enak gangguinnya, tapi  kan hari Sabtu ya, malem minggu lagi ๐Ÿ˜Œ

Di awal percakapan, aku mulai memperkenalkan diri, lalu cerita kalau aku habis pengabdian di Raja Ampat. Kemudian si dokter mulai memperkenalkan diri, alhamdulillah ia cukup ramah menerima orang asing. Singkat cerita, dokternya berjenis kelamin perempuan, masih lajang, namanya Jenny, ku panggil saja dokter Jenny. Beliau ternyata penduduk asli Raja Ampat. Ayahnya warga lokal yang menikah dengan ibunya yang keturunan orang Jawa. Beliau baik gewla mau sharing panjang lebar denganku. Darinya aku mengetahui bahwa:
Raja Ampat memiliki 19 Puskesmas dengan 4 orang dokter.
Empat orang meen! Kepulauan Raja Ampat kurang lebih memiliki 110 desa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat, jumlah penduduk di sana adalah 46.613 penduduk. Dilansir dari laman online Media Indonesia tahun 2017, WHO mematok rasio minimal satu dokter per 2.500-an penduduk. Kalau diitung jumlah ideal dokter di Raja Ampat adalah 19 orang. HOOO YA..YA..YA.. Harusnya tiap Puskesmas memiliki satu dokter ya?

Dokter Jenny cerita bahwa setiap bulan beliau memiliki jadwal untuk memberikan pelayanan keliling di beberapa desa. Ia juga menceritakan bahwa biasanya untuk pelayanan kesehatan rutin, ia mempercayakan program-programnya dilakukan oleh tenaga kesehatan setempat seperti bidan/perawat. Termasuk di Friwen. Ia mengontrol program-program tersebut melalui telepon, jika si petugas kesehatan ada masalah atau pertanyaan bisa di telepon terlebih dahulu. Programnya juga mencakup program pos lansia, dan lain sebagainya.

Ia mengatakan kalau Friwen masih mending karena memiliki Pustu, ada beberapa pulau yang tidak memiliki Yankes sama sekali. Dokter Jenny menyayangkan kegiatan kami yang tidak sempat sampai beritanya ke distrik Saonek. Padahal kalau dia tahu, ia bisa membantu, begitu katanya. Selain itu, ia juga bisa memberi tahu apa saja yang dibutuhkan desa Friwen. Termasuk saat itu adalah obat tetes mata. Ya, ngomong-ngomong obat tetes mata nih. Obat ini dari Waisai memang udah nggak ada. Dokter Jenny bilang gitu, katanya ia nggak bisa berbuat banyak.

Puskesmas Saonek, selain dokter Jenny terdapat beberapa tenaga kesehatan yaitu 1 orang tenaga kesehatan lingkungan, 1 orang perawat, 1 orang analis kesehatan, 1 orang tenaga laboratorium, 1 orang tenaga apoteker, dan 7 orang bidan. Semua petugas kesehatannya masih lajang katanya, ia bersyukur jadi mudah di-handle. Lalu aku berpikir kalau mereka menikah terus pelayanannya masih berlanjut atau nggak yah? Di Raja Ampat juga ada tenaga dari anak-anak Nusantara Sehat programnya Kemenkes, tapi tidak diberitahu jumlah pastinya oleh dokter Jenny. 

Porsi tenaga kesehatan ini menurutnya sudah cukup lengkap, mengingat Puskesmas Saonek mau menjalani proses akreditasi. Tinggal menunggu 1 tenaga lagi yang mau didatangkan. Dokter gigi ungkapnya.


Dokter Jenny cerita bahwa tadinya dia ingin pergi ke Friwen pada hari itu untuk memberikan pelayanan, tapi orang sana memintanya untuk datang hari minggu saja (besoknya). Dia mengatakan mau mengecek anak-anak yang kena infeksi mata juga nanti. Semoga beneran jadi ya dokter Jenny ๐Ÿ˜ฃ
Siluet adik-adik di Pulau Saonek
Main pasir
Hari itu, hari terakhirku di Raja Ampat. Aku sempat merasakan wifi kenceng di sebuah cafe tak jauh dari villa. Aku membeli minuman es mocha seharga 15 ribu, dan menghabiskan malam terakhir di Waisai dengan memainkan UNO Stacko dengan beberapa teman extend tim 3 ๐Ÿ’•๐Ÿ’•
 
Apa coba tulisannya tebak? FRIWEN

Minggu, 28 Januari 2018
Sorenya setelah packing baju dan merapihkan semuanya kami menuju pelabuhan Waisai untuk segera pulang menuju Sorong. Berpisah dengan Diana yang memiliki tekad yang bagus banget untuk bisa berkuliah di UGM. Semoga terwujud, aamiinnn.
 
Landmark di pelabuhan Waisai, Raja Ampat


Good bye Raja Ampat.
Good bye kenangan.

Kami sampai di Sorong sore hampir Magrib.
Aku sudah janji mau bertemu dengan Tuwendy aka Wendy teman SMA yang udah lama banget nggak bertemu. Setelah shalat magrib di Pelabuhan Sorong, aku dan beberapa teman menuju keluar. Awalnya aku ragu gitu pisah dengan teman-teman buat ketemu Wendy. Hehe. 
Nggak nyangka malah ketemu di Sorong. Bersyukur banget ketemu Wendy saat itu, ia menceritakan banyak hal, dan alasan mengapa ia bisa sampai di Sorong.

Setelah membeli oleh-oleh dan perlengkapan di supermarket Sorong, aku ditraktir Wendy makan malam. Baik banget memang. Dulu yang paling aku inget dari Wendy, dia suka tidur pakai musik instrumental di kelas, katanya “Iya gua abis tidur di Gramedia”. Haha๐Ÿ˜‚

Setelah shalat isya aku diantar Wendy kembali ke pelabuhan dan menunggu kapal merapat.

Senin, 29 Januari 2018 

Dini hari kapal merapat. Aku sempat curi-curi tidur lagi di bangku ruang tunggu pelabuhan. Ah, hari itu waktuku telah limit di Papua Barat.

KM Labobar lebih besar dari KM Ciremai. Tapi aku merasa hampa karena yang pulang bersamaku hanya segelintir sisa delegasi. Kami menempati deck 5 labobar, dengan tempat tidur tingkat. Kapal ini lebih besar dan sebenarnya kalau dilihat sekilas lebih bersih dari KM Ciremai. Sekilas ya. Camkan baik-baik.

Di deck 7 kapal labobar banyak banget yang jualan makanan. Aku sebenernya punya firasat yang kurang baik dengan kapal ini. Lebih mengerikan. Mungkin karena jumlah delegasi yang udah gak terlalu rame juga.

Aku tidur di samping mbak-mbak yang punya banyaaak sekali makanan. Aku, Yuni, Alim, Bang Usep, Fajar, Ridwan, dan Reno kecipratan makanannya. Kami memanggil si mbak, ibu kos. Karena beliau perhatian sekali dengan kami.

Malam harinya kami sampai di Ternate. Hanya merapat sebentar. Kami foto-foto di landmark I love Ternate, dan membeli oleh-oleh khas Ternate, buah Kenari. Kotanya masih ramai, meski sudah malam dini hari.

Selasa, 30 Januari 2018

Alhamdulillah siang sampailah kami di Bitung. Ibu kos turun dan memberikan kami segala macam makanannya untuk kami. Senang sekali. Ia juga membelikan kami asinan buah pala. Hehehe. Duh ibu, jadi enak.
 
Bersama ibu kos. Asli, akunya kucel banget di sini
Setelah mengantarkan ibu kos bertemu keluarganya, aku, Alim, Yuni, Ridwan ditraktir es krim sama bang Usep. Wah enaak nian. Lalu kami naik angkot sedikit ke pasar dekat pelabuhan dan makan Tinutuan, makanan khas Bitung, semacam bubur Manado.
 
Bitung
Sehabis dari Bitung ini, kami pindah deck ke deck 3. Sebenarnya lebih nyaman di deck 5. Tetapi ada berita yang kurang enak kalau 5 orang teman kehilangan handphone. HP mereka di cas, dan kejadiannya berlangsung saat subuh๐Ÿ˜“

Malamnya kapal Transit di Amorang, namun kami tidak bisa turun karena hanya merapat sebentar.

Rabu, 31 Januari 2018
Aku agak kurang nyaman dengan deck 3 Labobar. Banyak kecoa. Kecoanya tuh kecoa kecil-kecil dan nggak ada habisnya. Tapi anehnya aku tidurnya nyenyak๐Ÿ˜‘

Tapi setiap habis shalat subuh biasanya aku suka malas balik ke bawah, karena mushola ber-AC dan lebih nyaman. Setelah dari Bitung kemarin, sudah tidak ada yang berjualan di deck 7. Jadi lowong banget decknya.

Malam harinya kami sampai di Pantoloan, surganya pisang dan durian. Aku dan teman-teman beli ikan bakar. Lalu makan malam dengan lauk ikan bakar. Alhamdulillah akhirnyaa yaa makan enak lagi. Makanan KM Labobar rasanya lebih nggak enak dari pada di Ceremai. Sayurnya rasanya kayak basi gitu, ikannya juga. Nggak enak lah pokoknya. Setelah pindah ke deck 3 aku hampir nggak pernah lagi menghabiskan sayuran di makananku.
 
ikan bakar tercinta
Setelah makan kami menghabiskan malam dengan melihat gerhana bulan dari deck 7. Indah. Aku juga sembari video call dengan beberapa delegasi yang alhamdulillah mereka sudah sampai rumah masing-masing. Waktu kami baru naik kapal Labobar, mereka baru pada sampai Surabaya. Adalagi acara si Alim ngambek segala, wkwk kocyg.

Kamis, 1 Februari 2018
Paginya kami transit di Balikpapan. Sebelum makan pagi, kami memutuskan untuk turun ke Balikpapan dan membeli sotong bakar. Lagi-lagi bisa pesta makan enak :D

Terima kasih Pantoloan dan Balikpapan, tanpa tempat itu aku mungkin kurang berselara buat makan makanan kapal Labobar.

Maskeran dulu kita sis

Rasanya di hari terakhir sulit tidur nyenyak gitu entah kenapa. Malahan makin geli sama kecoa-kecoa yang jalan. Udah gitu ternyata kecoanya ada yang kecil bangeet kayak mikroba gitu, hiii. Geli. Kalian juga harus tau kalau kecoanya itu kebawa sampai Surabaya di tas aku ๐Ÿ˜ท

 
Labobar
Jumat, 2 Februari 2018

Siang hari sampai Surabayaaa. North Quay I’m coming. ALHAMDULILLAHHHH. Lega bisa ninggalin deck penuh kecoa itu... Setelah foto-foto bareng dan perpisahan yang tidak berlangsung lama (mungkin udah pada enek tidur bareng kecoa-kecoa kecil dan ngeliat copet), satu per satu dari kami pun meninggalkan north quay.

Survivor kapal Labobar
***
Akibat terlalu santai nggak beli tiket kereta ke Jakarta. Wkwk. Aku kehabisan tiket. Disusul Ridwan dan Alim. Kami nggak bisa langsung pulang. Oke. Yuni yang udah sejak di kapal merengek karena kehabisan tiket, ternyata aku samiun, dan ikut ikutan merengek. Wkwkwk.

Akibat kejadian kehabisan tiket itu, kami mendadak sok ngide jalan-jalan malam di Surabaya. Akhirnya Fajar menghubungi Rizal dan kami segera menuju kosan Rizal. Malam yang tidak terduga ya, nyewa mobil di samping kosan Rizal, dan jalan-jalan dari Surabaya menuju.... Madura.

Rutenya kemarin begini Mirota - Pasar Genteng - Jembatan Suramadu - masjid Agung Bangkalan - makan Syekh Kholil - gang dolly (nggak ketemu gangnya, udah digusur juga) - monumen Surabaya (nggak jadi foto karena ada satpol PP).
 
Buku-buku jadul di Mirota
Sebenarnya tiket tap-cash kami kosong waktu itu, nggak ada yang punya saldo. Hampir aja nggak bisa masuk ke Madura di tengah jalan tol jembatan Suramadu. Cukup nekat memang. Untungnya ada KTM UI aku. Berguna juga ya.

Agaknya di jalan-jalan malam ini kami kehabisan obat ya, jadi pada menggila.

In Frame: Yuni, Ridwan, Fajar, Alim, Bang Usep, Reno, dan Rizal 


Sabtu, 3 Februari 2018

Pagi harinya kami kembali ke kosan Rizal, setelah bermalam di lab ITS nya si Rizal. Fajar yang pertama balik duluan menuju Purwokerto jam 9 pagi. Setelah Fajar pulang, aku dan Yuni memutuskan untuk melanjutkan tidur di kosan Fida. Untung ada kosan Fida yang nggak ada siapa-siapanya. Aku dan Yuni puas sekali tidur kosan Pida. Makasih yak pid

Bang Usep dan Reno flight ke Pontianak jam 5 sore. Setelah makan bebek di traktir Ratih yang tiba-tiba mengunjungiku. Aku, Ridwan, Yuni, dan Alim menuju  Stasiun Surabaya Pasar Turi jam 9 malam. Ah, akhirnya pulang ya. Perjalanan yang sangat panjang.

Bundadari ratih ๐Ÿ’• kami di kosan Fida
Alim, Rizal, Ridwan, Yuni, dan Aku di Stasiun Pasar Turi. Saranghaeo Rizal ๐Ÿ˜

Minggu, 4 Februari 2018

Arrival. Touchdown Jakarta. Akhirnya melihat kembali ibukota. Melihat padatnya gedung-gedung Jakarta yang terkadang buatku muak itu. Aku dijemput ibu dan bapak dari Stasiun Pasar Senen. Yuni bersama aku sampai terminal Kampung Rambutan dan masih harus naik bus lagi menuju Bandung. Alim dan Ridwan ke Bogor naik KRL bersama rombongan se-IPB lainnya yang mendadak bertemu di stasiun Pasar Senen.

WHAT AN AMAZING EXPERIENCE! Alhamdulillahirobbil alaminnn... Thanks to Allah, sudah memberiku kesehatan dan keselamatan selama perjalanan.

 ***

Tulisan ini mengakhiri perjalananku. Genap sudah 20 hari ke dan dari Raja Ampat. Semoga tulisan pengalaman yang bahasanya nggak karuan ini, dapat menghibur di manapun kalian berada. 

Akhir kata, kurang lebihnya mohon maaf. Wasalammualaikum Warohmatullahi Wabarakatuh.
 
Best regards, 

No comments:

Post a Comment

KAGET DIDIAGNOSIS POSITIF COVID-19! TERPAKSA ISOLASI DI KOTA ORANG (AKU SANGAT MANDIRI)

Hai, ini tulisan pertamaku di tahun 2021. Terlalu banyak yang terjadi di tahun 2020, setengah tahunnya kurang bersemangat buat aku ceritakan...

Mario Walking Mario Walking Heart Chat Bubble Mario Walking